Sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali menjadi sorotan publik. Memanasnya polemik ini dipicu oleh perbedaan klaim atas Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, yang selama ini menjadi perbatasan alami antara kedua provinsi. Ketegangan meningkat setelah adanya dugaan penetapan administratif yang dinilai sepihak.
Dalam merespons hal tersebut, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pandangannya terkait dasar penetapan wilayah administratif. Menurutnya, aspek geografis tidak bisa dijadikan satu-satunya landasan dalam menentukan batas wilayah antardaerah.
“Penetapan wilayah administratif tidak boleh hanya berpatokan pada peta atau kedekatan geografis semata. Harus ada pertimbangan historis, yuridis, serta aspek sosial budaya masyarakat yang telah lama menghuni wilayah tersebut,” ujar Yusril dalam pernyataannya kepada media.
Ia menambahkan bahwa konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan memberikan ruang bagi pendekatan yang lebih menyeluruh, bukan sekadar teknokratis. Yusril menilai penting untuk melihat kembali dokumen hukum lama, termasuk keputusan presiden, surat keputusan menteri, dan data historis kepemilikan atau pengelolaan wilayah oleh masing-masing provinsi.
Dinamika Politik dan Aspirasi Daerah
Sengketa ini tidak hanya menjadi perdebatan administratif, tetapi juga telah menimbulkan ketegangan politik di daerah. Beberapa tokoh masyarakat dan pemerintah daerah dari Aceh menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap keputusan yang mengesankan pengabaian terhadap sejarah dan hak masyarakat adat setempat.
Sebaliknya, pihak Sumatera Utara menyatakan bahwa penetapan pulau-pulau tersebut telah sesuai dengan hasil pemetaan dan aturan resmi pemerintah pusat. Mereka juga menegaskan bahwa tidak ada upaya untuk mencaplok wilayah, melainkan hanya penegasan administratif yang selama ini belum jelas.
Pentingnya Mediasi dan Kajian Ulang
Yusril pun menyerukan agar pemerintah pusat mengambil peran aktif dalam memediasi persoalan ini. Ia menekankan pentingnya membuka ruang dialog antara pemerintah provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dengan melibatkan para ahli hukum, sejarahwan, serta tokoh masyarakat.
“Jika tidak diselesaikan secara objektif dan terbuka, potensi konflik sosial akan semakin besar. Ini menyangkut identitas, sejarah, dan rasa keadilan masyarakat lokal,” tegasnya.
Hingga saat ini, belum ada keputusan final yang diterima kedua belah pihak. Pemerintah pusat pun didesak untuk segera melakukan kajian ulang terhadap dasar hukum penetapan wilayah yang disengketakan agar tidak menimbulkan gejolak di masa mendatang.